Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Cerpen : Kembali Melangkah

Foto : pixaby.com

Kamu adalah bukti
Dari cantiknya paras dan hati
Kau jadi harmony saat ku bernyanyi
Tentang terang dan gelapnya hidup ini

Aku senyum-senyum sendiri saat mendengarkan untaian lagu tersebut. Iya. Bodoh memang. Cinta memang sebodoh itu.

Kemarin, seseorang yang diam-diam aku suka mengirimkan sebuah pesan suara. Setelah aku download dan buka. Ternyata berisi sebuah lagu. Lagu yang sedang hitz-hitznya saat ini. Dan, yang paling kusuka adalah dia sendiri yang menyanyikan lagu itu untukku. Iya. Aku sangat senang waktu itu.

Namun, disisi lain.

Ada setitik didalam hatiku yang menolak akan kesenanganku saat itu. Terasa berontak. Ingin menjauh. Sejauh-jauhnya dari laku-laki berparas tampan dan bermata elang tersebut.

Iya. Mungkin, memang aku yang salah. Terjerumus dalam lingkaran hitam yang seharusnya tak kupijak. Bermain-main dalam hubungan pertemanan yang tidak halal. Dan mendukung langkah syaiton agar mendekatkanku dalam kubangan dosa besar.

Satu bulan, hubungan kami lancar. Meskipun hanya via WhatsApp dan hanya melakukan chatting biasa.

Dua bulan.

Tiga bulan.

Hubungan kami semakin renggang.

Iya. Aku harus segera merenggang hubungan ini dan menjauh. Begitu pikirku waktu itu.

Karena, aku hanya ingin memiliki seseorang yang benar-benar aku cintai kelak setelah aku menikah. Dan, hanya dialah yang menjadi satu-satunya makhluk Allah yang kucinta setelah Mama dan Papa.

Kecewa?

Pasti. Satu hal yang menjadi amat sangat menyakitkan bagi hatiku. Setiap kali kuputar lagu darinya, setiap kali itu pula air mataku menetes. Mungkin, aku sudah terjatuh. Semakin dalam. Dan dalam. Hingga pada akhirnya aku tenggelam. Dan, hanya waktu yang dapat menjawab keadaan masa depan. Apakah sudah iklas melepasan? Atau? Semakin jauh terjembab dalam kubangan?

*****

Pagi yang cerah. Mentari tampak bersinar dengan teriknya pada pagi ini. Hangat, begitu pikirku. Pada hari weekend seperti ini, biasanya aku menghabiskan waktu liburku dengan berjalan-jalan ke taman, atau? Berburu kuliner dengan sahabat rerbaikku. Dan, yang pasti setelah berbesih rumah.

Namun, kali ini tampak berbeda. Tubuhku lesu seharian inj. Dengan wajah yang bibir selalu kutekuk. Degan malasnya aku hanya duduk sambil bersender di sofa. Dan, yang pasti dengan sebuah buku karya Tere Liye yang berada di pangkuanku.

"Im," seseorang memanggilku. Sedangkan aku hanya berdehem, hemm. Malas menanggapi ucapannya.

"Im," tak ku gubris.

"Ima!!!" Teriaknya yang mungkin akibat dari teriakannya gandang telingaku bisa pecah.

"Apaan si, Ra? Orang lagi baca juga diganggu."

Iya. Dia adalah Rara, sahabat terbaikku. Hampir setiap weekend dia selalu berkunjung ke rumah.

"Lihat tuh, Nte. Anaknya sok sibuk sendiri. Dari tadi dipanggil-panggil orangnya nggak nyaut. Giliran nyaut eh, sewot sendiri," adunya kepada mama persis seperti anak kecil.

"Apaan si," balasku dengan bibir maju sesenti.

"Anak gadis hari libur kok dirumah saja. Nggak refreshing kemana gitu. Wong ada si Rara mbok ya kalian bisa pergi kemana gitu biar nggak cemberut mulu. Jelek tau Im."

Nah, sekarang giliran mama yang bawel. Dasar, mama. Tapi tetap sayang. Akupun beranjak untuk berdiri kekamar.

"Lho, mau kemana? Kalau dibilangin malah langsung pergi!" Omel Mama, dan sepertinya Rara pun sewot.

"Katanya disuruh refreshing. Lha, ini mau ganti baju dulu Ma. Tapi, uang jajannya mana?" Pintaku pada Mama sambil tersenyum semanis mungkin.

"Iya deh, iya. Buat Ima tersayangnya Mama."

"Love you, Ma," ucapku sambil mengecup pipi Mama singkat. Mama the best pokoknya. Sedangkan, Rara hanya geleng-geleng kepala. Ilfiel kali.

****

Dan, akhirnya setelah bernegosiasi cukup lama dengan Rara kami memutuskan untuk ke cafe yang tidak jauh dari rumah. Selain makanannya yang enak, tempatnya nyaman, pun uang yang dikeluarkan tak begitu menguras kantong.

Setelah memesan makanan, kita pun akhirnya memilih duduk di dekat jendela. Tempat terfavorit kita.

"Jadi, gimana?" Tanya Rara padaku. Memecah nuansa indah saat kumulai  menikmati alunan lagu.

"Gimana apanya?"

"Jangan pura-pura lupa deh, Im. Kita sahabatan udah lama lho ya."

"Ya, nggak gimana-gimana."

"Ampun deh, Im. Sebagai sahabat, kamu bebas cerita apa saja kepadaku, Im. Jangan dipendam sendiri. Aku khawatir, sama kamu," ucapnya begitu tulus kepadaku. Dapat kulihat, matanya mulai terlihat ada bercak air yang menggenang.

Oh, Allah. Haruskah aku cerita? Serapat apapun hal yang kusembunyikan mereka tetap tahu. Namun, aku hanya tak ingin menjadi beban pikiran. Terlebih, bagi sahabatku dan.. tentunya Mama. Mama adalah orang yang paling kusayang. Paling kucinta. Lihatlah betapa hebatnya beliau mengatur waktu. Antara pekerjaan, anak, dan juga keluarga. Begitu sempurnya. Aku hanya ingin melihat mereka bahagia tanpa tahu apa masalahku yang sebenarnya. Itu saja. Apakah salah?

"Maaf," bibirku bergetar. Menahan pilu. Hanya kata itu saja yang dapat ku keluarkan dari bibirku sambil memgang tangan Rara. Seakan tenggorokan tercekat. Tak mampu melanjutkan kata.

"Iya. Aku mengerti. Pesanku cuma satu. Jangan sampai terlena akan cinta. Terlebih, cinta kepada makhluk-Nya."

Aku tersenyum. Sambil mengangguk; membenarkan ucapannya.

Iya. Mungkin, dulu aku terlena akan cinta. Cinta menjadi hal yang utama dalam hidupku. Hal yang paling ku priotitaskan. Apalagi, kepada makhluk-Nya. Namun, aku bersyukur. Hal itu tak berlangsung lama. Seakan-akan, Allah SWT menuntunku untuk kembali pada-Nya.

Oh, Allah. Terima kasih. Terima kasih karena Engkau, mampu menghadirkan orang-orang yang terbaik untukku. Yang benar-benar menuntunku untuk kembali padaMu.

Memberiku seorang Mama yang terhebat. Dan, sahabat yang terbaik yang pernah ada. Terima kasih Rara.

Percayalah, melepas sesuatu hal yang dilarang  karena Allah semata. InsyaAllah akan mendapat ganti yang luar biasa.

Dan kini, aku kembali melangkah. Melupakan hal yang terjadi kemarin sebagai pelajaran. Kemudian, melangkah menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Aamiin.

END

Cerpen Rinai Rindu


Jakarta, 2018 

 Ialah hujan, yang mampu membuatmu merasakan sebuah kerinduan.

Aku mengamati rinai hujan yang turun sore ini dengan saksama. Di setiap tetes rinainya mampu membuat hatiku bergetar. Terdapat sebuah rindu yang menusuk dalam sukmaku. Yang semakin kupandangi rinainya. Semakin hebat pula rinduku padanya. Ada sebuah kenangan tersendiri antara diriku dengannya yang tak bisa diungkapkan oleh kata. Bahkan, setiap tetes air hujan yang turun hari ini tak dapat menandingi rasa rinduku padanya.

Jakarta, 2016

Hujan sepertinya tidak akan pergi hari ini. Kulihat, jam di pergelangan tanganku berkali-kali. Terlihat sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku menggerutu kesal. Seandainya tadi pagi aku tak lupa membawa jas hujan atau payung, aku pasti tak akan menunggu hujan yang sepertinya tak akan reda ini.

“Hai. Kenapa belum pulang?” Tanya seseorang yang ternyata ia adalah Reno.

Oh.. jantungku terasa berdetak begitu kencang saat melihat wajahnya. Terdapat sengatan tersendiri saat kutatap matanya.

“Kau lihat, langit masih saja menangis. Dan aku tak tega jika harus mengganggunya,” jawabku yang sepertinya berlebihan. Aku tak tahu mengapa harus berkata seperti itu. Mungkin karena terlalu gugup bertemu dengannya

“Ah, kau ada-ada saja Rina,” balasnya. Aku hanya diam terpaku saat dia menyebut namaku. Entahlah, mungkin aku terlalu kaget saat ia mengetahui namaku.

Ia adalah Reno. Anak kelas XII seangkatanku namun beda jurusan. Aku sudah lama mengaguminya. Ia pintar, dan pernah menjadi Ketua OSIS. Sedangkan, aku hanya seorang gadis remaja biasa yang menghabiskan setiap waktu istirahatku di perpustakaan.

“Mau pakai jas hujanku dulu?” tawarnya kepadaku.

“Ah, tidak. Terima kasih Reno. Bila jas hujanmu kupakai, lantas kau nanti pulang pakai apa?” elakku padanya.

Kudekati bangku di ujung lorong karena sedari tadi aku berdiri memandang hujan. Kulihat, ia pun mengikutiku dari belakang. Mendekati bangku.

“Aku kan lelaki. Daya tahan tubuhku lebih kuat daripada seorang peremuan,” jelasnya yang memang tak dapat kuelak lagi jawabannya.

Aku hanya diam. Mataku lebih terpaku akan indahnya rinai hujan saat ini. Apalagi suaranya yang mampu menggetarkan hati dan pikiran.

“Kamu suka hujan ya?” tanyanya tepat pada sasaran.

“Iya. Aku suka hujan. Lebih tepatnya suara hujan. Yang kusuka hanya suara dan indahnya rinai yang turun. Itu membuat suasana hatiku lebih tenang,” jelasku menerangkan.

Pluviophile,” ucapnya

Aku hanya mengerutkan kening; apa?

Pluviophie. Iya, Pluviophie sebutan bagi seseorang yang mengagumi hujan. Seperti kamu ini,” jawabnya.

“Kalau kamu? Apa yang kamu suka dari hujan?” Tanyaku dengan ragu padanya.

“Yang kusuka dari hujan ialah baunya. Petrichor, aroma yang khas saat rintik-rintik hujaan itu membasahi tanah yang kering,” jelasnya.

Kita sama-sama terdiam, menikmati alunan suara nyanyian hujan. Yang kurasakan saat ini adalah aku sangat senang. Bisa berbincang bersama dengan Reno yang diam-diam kukagumi itu. Hingga satu  di antara kami memecah keheningan.

“Jadi, ngga jadi pulang nih?” Tanyanya padaku yang masih asyik memandang hujan memecah lamunanku.

Aku tersenyum, “oh iya, lupa aku. Lantas, kamu gimana?” Tanyaku padanya.

“Aku ngga apa-apa. I’m fine, ok?” Jawabnya dengan nada sok kerennya.

“Oke. Aku duluan ya kalau gitu,” ucapku padanya kemudian menembus guyuran hujan sore ini.

Hujan, sepertinya menjadi memori tersendiri antara aku dan dirinya. Entah sekarang, lusa atau sampai saat dimana kenangan itu muncul dengan sendirinya. Aku lebih suka memandang hujan, mendengar ribuan rintik air yang mampu membuat alunan harmoni secara alami itu. Aku lebih suka hujan, karena di setiap tetesnya terdapat  rangkaian doa yang merindu.

Namun, dititik berikutnya aku tidak menyukai suara maupun rinainya. Semua itu hanya mampu membuatku untuk membongkar semua kenangan yang berputar acak diotakku menjadi satu. Seperti sebuah film.

Jakarta, 2017

“Bukankah kau tidak menyukai kopi?” Ucap seseorang dengan nada tak sukanya. Aku pun beranjak meninggalkan perhatianku pada hujan. Penasaran dengan sosok tersebut.

Aku terdiam. Jantungku terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Iris matanya mengunci penglihatanku. Memahami ada yang terasa janggal dalam detik  ini. Di detik berikutnya, ia pun melangkah duduk di depanku.

“Are you ok?” Tanyanya memecah keterkejutanku.

“Yes i’m ok, Reno,” ucapku. “Oh, maaf. Maksudku, Arka. Aku baik-baik saja, ok?” lanjutku. Aku sekarang merasa bersalah padanya.

“Aku tahu. Kau masih mengingatnya. Dan kau pula masih menyimpan rindu untuknya. Terlebih, ia adalah sosok yang spesial untukmu. Kau bisa memanggilku Reno bila itu mampu membuat rindumu terobati, Rina,” jelas Arka-saudara kembar Reno- memang, selama ini aku masih merindukannya. Sejak kejadian itu, aku tak mampu melupakannya. Aku membenci diriku sendiri. Dan, hujan. Karena hujan yang membuat keadaan semula baik-baik saja menjadi keadaan terburuk yang pernah ada.

Tatapanku pun berubah pada hujan. Setiap kali kutatap hujan dengan senyum dan mata yang berbinar. Kini, berubah menjadi sendu tanpa guratan senyuman.


Jakarta, 2016

“Hei! Melamun saja. Ngelamunin  siapa sih?” Tanya Reno yang membuyarkan pikiranku.

Kuserahkan nilai ulangan matematikaku yang kian hari kian menurun.

“Tenang saja, semua bisa kuatasi,” ujarnya meyakinkan.

Namun, aku tak seyakin itu, “jangan bercanda deh Ren, aku sudah susah payah belajar semalaman cuma dapat 6. Bagaimana kamu bisa?” Jawabku yang agak kesal.

Dia mulai melihat hasil ulanganku. Tatapan matanya serius melihat soal-soal yang menurutku rumit itu.

“Lihat. Yang nomor 7 caranya begini,” jelasnya sambil menuliskan jejeran rumus yang tepat untuk materi logaritma itu.

“Selesai. Mudah bukan?” Ucapnya.

“Kalau yang ini?” Tanyaku menunjukkan soal nomor 16.

Kulihat Reno dengan seriusnya membaca soal itu dan dengan waktu beberapa menit ia mampu menjabarkan setiap kerumitan soal itu. Sungguh, anak yang genius.

“Kau tahu? Dalam belajar matematika kau harus menguasai semua rumus yang telah Bu Nisa ajarkan padamu. Tak hanya matematika, pelajaran yang lain pun begitu,” jelas Reno yang sepertinya tahu akan arti dari pikiranku. Perkataannya tadi terlihat lebih dewasa. Sisi lain dari Reno.

“Gimana? Paham nggak, malah melamun saja,” ucap Reno yang kembali kesisi semulanya.

“Iya, paham kok. Pulang yuk Ren, sudah sore nih,” ajakku pada Reno.

“Tapi kan masih hujan Rina, apa sebaiknya tunggu reda saja?” usul Reno padaku.

“Tak apa. Hari ini aku bawa jas hujan. Jadi, kau tidak usah repot-repot meminjamkan jas hujanmu itu,” elakku padanya.

“Baiklah. Ayo pulang.”

Dan, akhirnya ia pun mengalah. Aku berdecak ria kemudian berlari menembus hujan setelah memakai jas hujan.

“Rina! Tunggu!” Teriak Reno yang sedari tadi kutinggalkan.

“Ayo Reno cepat!” Teriakku memecah suara hujan pada Reno. Dia mulai berlari mengejarku. Namun, didetik berikutnya terjadi hal yang sangat membuatku terluka.

“Reno!!!” teriakku sambil berlari menghaampiri Reno yang telah tergeletak di aspal. Tangisku pecah, tak dapat lagi kubendung. Aliran darah di kepalanya semakin bercucuran, dan kemudian hujan bersatu dengan darah Reno. Dan sejak saat itu aku benci hujan.


Surat Terakhir dari Bapak (cerpen)










Surat Terakhir dari Bapak




Jakarta, 2005
Aku memandang senja yang sama. Namun, ada sesuatu yang kosong. Ialah cerita hidupku yang kosong tanpanya. Sudah lebih dari lima tahun aku disini. Di kota ini. Ibukota yang terkenal akan penuh sesaknya kendaraan. Yang terkenal akan begitu penuhnya polusi udara. Dan deru bisingnya kendaraan yang tiada habisnya.

Kupandang langit. Terdapat pesawat terbang diangkasa. Sejenak, pikiranku melalang buana. Tepatnya, disaat umurku telah sepuluh tahun.

Kampung, 1987
Pagi yang cerah. Hari ini sekolahku libur. Aku membantu Bapak ke sawah. Mengambil ikan di aliran air di sela-sela tanggul sawah. Udara masih sejuk, damai dan tentram. Padinya mulai berwarna kuning keemasan. Siap untuk di panen. Namun, itu bukan punya Bapakku.

“Itu Pak, ikannya. Besar-besar,” ucapku sambil menunjuk ke arah ikan yang ada di air. Itu adalah ikan bethik. Ikan yang memang selalu ada di musim hujan saat ini.

Kemudian, aku dan bapak mengambil jaring untuk menangkap ikan. Mamasangnya diantara kedua sisi yang airnya mengalir.  Tak butuh waktu lama, ikannya pun mulai menyangkut di jaring kami. Aku berseru senang, “Yey! Hari ini makan ikan!”

“Iya Nak, hari ini kita makan ikan,” ucap Bapak sambil mengusap kepalaku.
Hari semakin siang. Terik matahari mulai menyengat tubuh. Aku dan bapak berangsur meninggalkan sawah.

“Pak, Adit capek,” ucapku merengek pada Bapak.

“Yaudah, istirahat dulu Nak.”

Kamipun istirahat di gubuk bambu di tengah sawah. Aku mulai memandang langit. Masih cerah. Tak bosan aku memandang. Karena, aku suka sekali memandang langit yang berwarna biru. Aku sering bertanya pada Bapak, “Pak, kenapa langit bisa ada di atas? Dan kenapa, langit tidak jatuh?” jawabannya sederhana, “itu adalah kuasa Gusti Allah Nak. Semua kehidupan ini yang mengatur adalah Gusti Allah.” Selalu, aku mempertanyakan hal itu pada Bapak saat usiaku 8 tahun.

“Pak, ada pesawat terbang!”Ucapku berseru riang.

“Mana Nak?”

“Itu Pak,” jawabku sambil menunjuk langit. Tepatnya, dimana pesawat  itu terbang.

“Pak, Adit pengin menjadi pilot. Supaya bisa membawa Bapak dan Emak keliling dunia,” ucapku polos pada Bapak.

“Iya. Sekolah yang rajin ya Nak,” ucapnya. Jeda beberapa detik, Bapak melanjutkan, “Nak, tak perlu kau membawa Bapak dan Emak keliling dunia. Karena, Bapak dan Emak hanya ingin ke Tanah Suci,” ucapnya dengan nada bergetar sambil mengusap kepalaku.

Dalam hati aku bertekad, untuk membawa Bapak dan Emak ke Tanah Suci.

***

Jakarta, 2005

Angin menerpa wajahku. Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an menyadarkanku dari kenangan masa lalu yang sangat kurindukan.

Bapak, maafkan Aku.

Aku bergegas menuju Masjid Ar Rahman, dekat dengan rumahku. Hanya butuh waktu 10 menit untuk dapat sampai ke sana.

“Emak?” ucapku kaget. Bergegas aku menghampirinya.

“Kenapa Emak keluar? Kan masih sakit. Kata dokter di suruh untuk istirahat dulu,” tanyaku dengan nada khawatir.

“Emak ingin sholat di Masjid. Sudah lama Emak tidak sholat di sana,” ucapnya.

Aku terharu dengan pernyataan Emak. “Tapi kan Emak lagi sakit. Kita sholat di rumah saja. Berjamaah, bersama Adit,” Emak pun mengangguk; setuju.

***

Kampung, 2000-2002

“Adit pergi dulu ya Pak. Do’akan Adit,” ijinku pada Bapak untuk melanjutkan pendidikanku di Semarang. Aku berhasil mendapatkan beasiswa pendidikan gratis dari pemerintah karena nilaiku yang memuaskan. Meskipun, cita-citaku yang ingin menjadi pilot tidak bisa aku capai namun, aku bersyukur karena Gusti Allah memberiku jalan yang lain untuk melanjutkan pendidikan.

“Hati-hati ya Nak. Ojo lali sembahyang marang Gusti Allah,” ucapnya sambil mengusap kepalaku.

Hari berganti bulan. Dan bulan pun berganti tahun. Aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Kemudian mencari pekerjaan yang cocok di Ibukota. Dan, selama itulah setelah aku gajian sebagian uangku kusisihkan untuk kukirim ke Bapak. Dan sebagian yang lain untuk kutabung. Untuk memenuhi janjiku ke Bapak. Aku begitu semangat bekerja. Sampai-sampai selang dua tahun aku sudah menempati posisi yang selama ini di incar karyawan. Gajiku pun bertambah.
Surat dari tukang pos mulai berdatangan. Tertera disana tulisan Bapak. Kerjaanku semakin hari semakin menumpuk. Tak sempat kubaca satupun surat dari Bapak. Namun, aku masih mengirimkannya uang. Hingga hari itu tiba …

“Halo? Siapa ini?” ucapku kepada seseorang yang telah menghubungiku di tengah malam.

“Ini Bayu, Dit. Teman SMA mu dulu.”

“Oh, Bayu. Ada apa?”

“Bapakmu Dit, Bapakmu. Cepatlah pulang!”

“Bapakku kenapa!” hampir aku teriak.

“Bapakmu di rawat di rumah sakit. Ia sedang koma.”

Akupun bergegas untuk pulang. Menuju rumah sakit.

Bapak, maafkan Aku.

***

“Assalamu’alaikum waroh matullah”
“Assalamu’alaikum waroh matullah”
Ar Rahman. Ar Rahim. Tuhan semesta alam. Yang menguasai di hari pembalasan. Hamba hanyalah manusia yang hina lagi dzolim.

***

Terlambat. Mungkin kata itulah yang pantas untuk kugunakan saat ini. Aku terlambat untuk melihat Bapak. Melihat senyum Bapak. Melihat tawa Bapak. Dan merasakan usapan tangan Bapak di kepalaku. Kemudian mengajaknya ke Tanah Suci.

Kulihat, jenazah Bapak sudah terkubur. Tanahnya pun masih basah dengan bunga yang masih segar. Aku berulang kali mencium nisan Bapak. Kemudian mendo’akannya.

***

Setelah 40 hari menignggalnya Bapak. Akupun kemudian membawa Emak ke Ibukota untuk tinggal bersamaku. Suasana duka masih menyelimuti hati kami. Selah sampai dan berbincang dengan Emak, kuputuskan untuk ke kamar. Kulihat, surat tulisan Bapak masih terbungkus rapi di meja kerjaku. Surat yang selama ini aku abaikan. Kubuka surat itu dengan perlahan.

Untuk Adit, Anakku tercinta
Bapak sangat merindukanmu. Kapan kamu pulang, Nak? Lebih dari seribu hari Bapak tak melihat wajahmu. Melihat senyum indahmu. Bapak rindu.
Bapak tak butuh harta darimu. Bapak pula tak menagih keinginan Bapak yang dahulu. Bapak hanya ingin kamu pulang. Menangkap ikan bersama atau duduk digubuk sambil memandang langit dan melihat pesawat terbang melintas. Dengan berbagai macam pertanyaanmu yang kau tujukan pada Bapak. Hanya itu. Pulanglah…

Aku meneteskan air mata saat membaca surat terakhir dari Bapak.

Maafkan anakmu pak.

Karena waktu tak selamanya sama. Tak ada yang abadi. Dan perlahan-lahan akan mati. 

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Mengenai Saya

Foto saya
Berasal dari keluarga yang biasa saja, pun bukan mahasiswa. Semua itu tak dapat menghentikan langkah saya untuk terus berbagi ilmu. Karena, sebaik-baik manusia adalah yang dapat bermanfaat bagi sesama. Dan saya, memulainya dari sini; menulis.

Pengikut