Surat Terakhir dari Bapak




Jakarta, 2005
Aku memandang senja yang sama. Namun, ada sesuatu yang kosong. Ialah cerita hidupku yang kosong tanpanya. Sudah lebih dari lima tahun aku disini. Di kota ini. Ibukota yang terkenal akan penuh sesaknya kendaraan. Yang terkenal akan begitu penuhnya polusi udara. Dan deru bisingnya kendaraan yang tiada habisnya.

Kupandang langit. Terdapat pesawat terbang diangkasa. Sejenak, pikiranku melalang buana. Tepatnya, disaat umurku telah sepuluh tahun.

Kampung, 1987
Pagi yang cerah. Hari ini sekolahku libur. Aku membantu Bapak ke sawah. Mengambil ikan di aliran air di sela-sela tanggul sawah. Udara masih sejuk, damai dan tentram. Padinya mulai berwarna kuning keemasan. Siap untuk di panen. Namun, itu bukan punya Bapakku.

“Itu Pak, ikannya. Besar-besar,” ucapku sambil menunjuk ke arah ikan yang ada di air. Itu adalah ikan bethik. Ikan yang memang selalu ada di musim hujan saat ini.

Kemudian, aku dan bapak mengambil jaring untuk menangkap ikan. Mamasangnya diantara kedua sisi yang airnya mengalir.  Tak butuh waktu lama, ikannya pun mulai menyangkut di jaring kami. Aku berseru senang, “Yey! Hari ini makan ikan!”

“Iya Nak, hari ini kita makan ikan,” ucap Bapak sambil mengusap kepalaku.
Hari semakin siang. Terik matahari mulai menyengat tubuh. Aku dan bapak berangsur meninggalkan sawah.

“Pak, Adit capek,” ucapku merengek pada Bapak.

“Yaudah, istirahat dulu Nak.”

Kamipun istirahat di gubuk bambu di tengah sawah. Aku mulai memandang langit. Masih cerah. Tak bosan aku memandang. Karena, aku suka sekali memandang langit yang berwarna biru. Aku sering bertanya pada Bapak, “Pak, kenapa langit bisa ada di atas? Dan kenapa, langit tidak jatuh?” jawabannya sederhana, “itu adalah kuasa Gusti Allah Nak. Semua kehidupan ini yang mengatur adalah Gusti Allah.” Selalu, aku mempertanyakan hal itu pada Bapak saat usiaku 8 tahun.

“Pak, ada pesawat terbang!”Ucapku berseru riang.

“Mana Nak?”

“Itu Pak,” jawabku sambil menunjuk langit. Tepatnya, dimana pesawat  itu terbang.

“Pak, Adit pengin menjadi pilot. Supaya bisa membawa Bapak dan Emak keliling dunia,” ucapku polos pada Bapak.

“Iya. Sekolah yang rajin ya Nak,” ucapnya. Jeda beberapa detik, Bapak melanjutkan, “Nak, tak perlu kau membawa Bapak dan Emak keliling dunia. Karena, Bapak dan Emak hanya ingin ke Tanah Suci,” ucapnya dengan nada bergetar sambil mengusap kepalaku.

Dalam hati aku bertekad, untuk membawa Bapak dan Emak ke Tanah Suci.

***

Jakarta, 2005

Angin menerpa wajahku. Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an menyadarkanku dari kenangan masa lalu yang sangat kurindukan.

Bapak, maafkan Aku.

Aku bergegas menuju Masjid Ar Rahman, dekat dengan rumahku. Hanya butuh waktu 10 menit untuk dapat sampai ke sana.

“Emak?” ucapku kaget. Bergegas aku menghampirinya.

“Kenapa Emak keluar? Kan masih sakit. Kata dokter di suruh untuk istirahat dulu,” tanyaku dengan nada khawatir.

“Emak ingin sholat di Masjid. Sudah lama Emak tidak sholat di sana,” ucapnya.

Aku terharu dengan pernyataan Emak. “Tapi kan Emak lagi sakit. Kita sholat di rumah saja. Berjamaah, bersama Adit,” Emak pun mengangguk; setuju.

***

Kampung, 2000-2002

“Adit pergi dulu ya Pak. Do’akan Adit,” ijinku pada Bapak untuk melanjutkan pendidikanku di Semarang. Aku berhasil mendapatkan beasiswa pendidikan gratis dari pemerintah karena nilaiku yang memuaskan. Meskipun, cita-citaku yang ingin menjadi pilot tidak bisa aku capai namun, aku bersyukur karena Gusti Allah memberiku jalan yang lain untuk melanjutkan pendidikan.

“Hati-hati ya Nak. Ojo lali sembahyang marang Gusti Allah,” ucapnya sambil mengusap kepalaku.

Hari berganti bulan. Dan bulan pun berganti tahun. Aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Kemudian mencari pekerjaan yang cocok di Ibukota. Dan, selama itulah setelah aku gajian sebagian uangku kusisihkan untuk kukirim ke Bapak. Dan sebagian yang lain untuk kutabung. Untuk memenuhi janjiku ke Bapak. Aku begitu semangat bekerja. Sampai-sampai selang dua tahun aku sudah menempati posisi yang selama ini di incar karyawan. Gajiku pun bertambah.
Surat dari tukang pos mulai berdatangan. Tertera disana tulisan Bapak. Kerjaanku semakin hari semakin menumpuk. Tak sempat kubaca satupun surat dari Bapak. Namun, aku masih mengirimkannya uang. Hingga hari itu tiba …

“Halo? Siapa ini?” ucapku kepada seseorang yang telah menghubungiku di tengah malam.

“Ini Bayu, Dit. Teman SMA mu dulu.”

“Oh, Bayu. Ada apa?”

“Bapakmu Dit, Bapakmu. Cepatlah pulang!”

“Bapakku kenapa!” hampir aku teriak.

“Bapakmu di rawat di rumah sakit. Ia sedang koma.”

Akupun bergegas untuk pulang. Menuju rumah sakit.

Bapak, maafkan Aku.

***

“Assalamu’alaikum waroh matullah”
“Assalamu’alaikum waroh matullah”
Ar Rahman. Ar Rahim. Tuhan semesta alam. Yang menguasai di hari pembalasan. Hamba hanyalah manusia yang hina lagi dzolim.

***

Terlambat. Mungkin kata itulah yang pantas untuk kugunakan saat ini. Aku terlambat untuk melihat Bapak. Melihat senyum Bapak. Melihat tawa Bapak. Dan merasakan usapan tangan Bapak di kepalaku. Kemudian mengajaknya ke Tanah Suci.

Kulihat, jenazah Bapak sudah terkubur. Tanahnya pun masih basah dengan bunga yang masih segar. Aku berulang kali mencium nisan Bapak. Kemudian mendo’akannya.

***

Setelah 40 hari menignggalnya Bapak. Akupun kemudian membawa Emak ke Ibukota untuk tinggal bersamaku. Suasana duka masih menyelimuti hati kami. Selah sampai dan berbincang dengan Emak, kuputuskan untuk ke kamar. Kulihat, surat tulisan Bapak masih terbungkus rapi di meja kerjaku. Surat yang selama ini aku abaikan. Kubuka surat itu dengan perlahan.

Untuk Adit, Anakku tercinta
Bapak sangat merindukanmu. Kapan kamu pulang, Nak? Lebih dari seribu hari Bapak tak melihat wajahmu. Melihat senyum indahmu. Bapak rindu.
Bapak tak butuh harta darimu. Bapak pula tak menagih keinginan Bapak yang dahulu. Bapak hanya ingin kamu pulang. Menangkap ikan bersama atau duduk digubuk sambil memandang langit dan melihat pesawat terbang melintas. Dengan berbagai macam pertanyaanmu yang kau tujukan pada Bapak. Hanya itu. Pulanglah…

Aku meneteskan air mata saat membaca surat terakhir dari Bapak.

Maafkan anakmu pak.

Karena waktu tak selamanya sama. Tak ada yang abadi. Dan perlahan-lahan akan mati. 

29 komentar:

  1. Kalau ngomongin tentang bapak, pasti mewek sedih :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak.. tulisan ini adalah kasih sayang yg tak tersirat untuk bapak

      Hapus
  2. Balasan
    1. Bercerita tentang orang tua itu pasti sedih ya mbak...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Masya Allah.. semoga orang tua kita selalu dalam keadaan yang di ridhoi Allah SWT.

      Hapus
  4. Mbaaak... Duuh ceritanya bikin mak nyeess. Ikutan sedih jadinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maafkan saya ini mbak. Memang hobi buat cerita yang sedih-sedih... :)

      Hapus
  5. Sedih banget. Jadi ingat Bapa. Ingin juga menulis tentangnya

    BalasHapus
  6. Sedih.jadi teringat Bapak juga. Ingin menulis tentangnya

    BalasHapus
  7. So sad mb..😢😢😭
    Teringat almarhum bapak saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masya Allah... salah satu bakti dari seroang anak kepada orang tua yang tidak pernah putus amalannya adalah mengirimkan do'a kepadanya mbak..

      Hapus
  8. Jadi ingat almarhum Abah.. Sedih banget ceritanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masya Allah... salah satu bakti dari seroang anak kepada orang tua yang tidak pernah putus amalannya adalah mengirimkan do'a kepadanya mbak..

      Hapus
  9. Ceritanya bagus dan sedih banget. Jadi ingat Bapak saya yang udah lama berpulang....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkunjung mbak.. semoga amal ibadah beliau di terima oleh-Nya. Aamiin

      Hapus
  10. bagi orang tua, kesuksesan anaknya memang hal yang diharapkan tapi bukan berarti terus-terusan mengejar dunia. Lupa bahwa untuk seorang anak ada rumah yang harus dikunjungi. Ruah kedua orang tua yang selalu merindukan kepulangan anaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup! Itu adalah pesan moral yang saya sampaikan dalam cerita ini. Terima kasih sudah berkunjung mbak..

      Hapus
  11. sedih banget siiiihh T_T


    https://www.ngerayau.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. emang ceritanya sengaja di buat sedih mbak.. terima kasih sudah berkunjung..

      Hapus
  12. Syediiiihhhh...
    😭😭😭

    BalasHapus
  13. I love my father. Mari bahagiakan kedua orang tua kita selagi mereka masih hidup

    BalasHapus
  14. Balasan
    1. Buat bapaknya Adit ya mbak... bapakku masih ada soalnya... ☺

      Hapus
  15. Ingat dulu tiap ndengerin lagu "Ayah" nya Ebiet G Ade,pasti mewek...😃

    BalasHapus

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Mengenai Saya

Foto saya
Berasal dari keluarga yang biasa saja, pun bukan mahasiswa. Semua itu tak dapat menghentikan langkah saya untuk terus berbagi ilmu. Karena, sebaik-baik manusia adalah yang dapat bermanfaat bagi sesama. Dan saya, memulainya dari sini; menulis.

Pengikut