Cerpen : Kembali Melangkah

Foto : pixaby.com

Kamu adalah bukti
Dari cantiknya paras dan hati
Kau jadi harmony saat ku bernyanyi
Tentang terang dan gelapnya hidup ini

Aku senyum-senyum sendiri saat mendengarkan untaian lagu tersebut. Iya. Bodoh memang. Cinta memang sebodoh itu.

Kemarin, seseorang yang diam-diam aku suka mengirimkan sebuah pesan suara. Setelah aku download dan buka. Ternyata berisi sebuah lagu. Lagu yang sedang hitz-hitznya saat ini. Dan, yang paling kusuka adalah dia sendiri yang menyanyikan lagu itu untukku. Iya. Aku sangat senang waktu itu.

Namun, disisi lain.

Ada setitik didalam hatiku yang menolak akan kesenanganku saat itu. Terasa berontak. Ingin menjauh. Sejauh-jauhnya dari laku-laki berparas tampan dan bermata elang tersebut.

Iya. Mungkin, memang aku yang salah. Terjerumus dalam lingkaran hitam yang seharusnya tak kupijak. Bermain-main dalam hubungan pertemanan yang tidak halal. Dan mendukung langkah syaiton agar mendekatkanku dalam kubangan dosa besar.

Satu bulan, hubungan kami lancar. Meskipun hanya via WhatsApp dan hanya melakukan chatting biasa.

Dua bulan.

Tiga bulan.

Hubungan kami semakin renggang.

Iya. Aku harus segera merenggang hubungan ini dan menjauh. Begitu pikirku waktu itu.

Karena, aku hanya ingin memiliki seseorang yang benar-benar aku cintai kelak setelah aku menikah. Dan, hanya dialah yang menjadi satu-satunya makhluk Allah yang kucinta setelah Mama dan Papa.

Kecewa?

Pasti. Satu hal yang menjadi amat sangat menyakitkan bagi hatiku. Setiap kali kuputar lagu darinya, setiap kali itu pula air mataku menetes. Mungkin, aku sudah terjatuh. Semakin dalam. Dan dalam. Hingga pada akhirnya aku tenggelam. Dan, hanya waktu yang dapat menjawab keadaan masa depan. Apakah sudah iklas melepasan? Atau? Semakin jauh terjembab dalam kubangan?

*****

Pagi yang cerah. Mentari tampak bersinar dengan teriknya pada pagi ini. Hangat, begitu pikirku. Pada hari weekend seperti ini, biasanya aku menghabiskan waktu liburku dengan berjalan-jalan ke taman, atau? Berburu kuliner dengan sahabat rerbaikku. Dan, yang pasti setelah berbesih rumah.

Namun, kali ini tampak berbeda. Tubuhku lesu seharian inj. Dengan wajah yang bibir selalu kutekuk. Degan malasnya aku hanya duduk sambil bersender di sofa. Dan, yang pasti dengan sebuah buku karya Tere Liye yang berada di pangkuanku.

"Im," seseorang memanggilku. Sedangkan aku hanya berdehem, hemm. Malas menanggapi ucapannya.

"Im," tak ku gubris.

"Ima!!!" Teriaknya yang mungkin akibat dari teriakannya gandang telingaku bisa pecah.

"Apaan si, Ra? Orang lagi baca juga diganggu."

Iya. Dia adalah Rara, sahabat terbaikku. Hampir setiap weekend dia selalu berkunjung ke rumah.

"Lihat tuh, Nte. Anaknya sok sibuk sendiri. Dari tadi dipanggil-panggil orangnya nggak nyaut. Giliran nyaut eh, sewot sendiri," adunya kepada mama persis seperti anak kecil.

"Apaan si," balasku dengan bibir maju sesenti.

"Anak gadis hari libur kok dirumah saja. Nggak refreshing kemana gitu. Wong ada si Rara mbok ya kalian bisa pergi kemana gitu biar nggak cemberut mulu. Jelek tau Im."

Nah, sekarang giliran mama yang bawel. Dasar, mama. Tapi tetap sayang. Akupun beranjak untuk berdiri kekamar.

"Lho, mau kemana? Kalau dibilangin malah langsung pergi!" Omel Mama, dan sepertinya Rara pun sewot.

"Katanya disuruh refreshing. Lha, ini mau ganti baju dulu Ma. Tapi, uang jajannya mana?" Pintaku pada Mama sambil tersenyum semanis mungkin.

"Iya deh, iya. Buat Ima tersayangnya Mama."

"Love you, Ma," ucapku sambil mengecup pipi Mama singkat. Mama the best pokoknya. Sedangkan, Rara hanya geleng-geleng kepala. Ilfiel kali.

****

Dan, akhirnya setelah bernegosiasi cukup lama dengan Rara kami memutuskan untuk ke cafe yang tidak jauh dari rumah. Selain makanannya yang enak, tempatnya nyaman, pun uang yang dikeluarkan tak begitu menguras kantong.

Setelah memesan makanan, kita pun akhirnya memilih duduk di dekat jendela. Tempat terfavorit kita.

"Jadi, gimana?" Tanya Rara padaku. Memecah nuansa indah saat kumulai  menikmati alunan lagu.

"Gimana apanya?"

"Jangan pura-pura lupa deh, Im. Kita sahabatan udah lama lho ya."

"Ya, nggak gimana-gimana."

"Ampun deh, Im. Sebagai sahabat, kamu bebas cerita apa saja kepadaku, Im. Jangan dipendam sendiri. Aku khawatir, sama kamu," ucapnya begitu tulus kepadaku. Dapat kulihat, matanya mulai terlihat ada bercak air yang menggenang.

Oh, Allah. Haruskah aku cerita? Serapat apapun hal yang kusembunyikan mereka tetap tahu. Namun, aku hanya tak ingin menjadi beban pikiran. Terlebih, bagi sahabatku dan.. tentunya Mama. Mama adalah orang yang paling kusayang. Paling kucinta. Lihatlah betapa hebatnya beliau mengatur waktu. Antara pekerjaan, anak, dan juga keluarga. Begitu sempurnya. Aku hanya ingin melihat mereka bahagia tanpa tahu apa masalahku yang sebenarnya. Itu saja. Apakah salah?

"Maaf," bibirku bergetar. Menahan pilu. Hanya kata itu saja yang dapat ku keluarkan dari bibirku sambil memgang tangan Rara. Seakan tenggorokan tercekat. Tak mampu melanjutkan kata.

"Iya. Aku mengerti. Pesanku cuma satu. Jangan sampai terlena akan cinta. Terlebih, cinta kepada makhluk-Nya."

Aku tersenyum. Sambil mengangguk; membenarkan ucapannya.

Iya. Mungkin, dulu aku terlena akan cinta. Cinta menjadi hal yang utama dalam hidupku. Hal yang paling ku priotitaskan. Apalagi, kepada makhluk-Nya. Namun, aku bersyukur. Hal itu tak berlangsung lama. Seakan-akan, Allah SWT menuntunku untuk kembali pada-Nya.

Oh, Allah. Terima kasih. Terima kasih karena Engkau, mampu menghadirkan orang-orang yang terbaik untukku. Yang benar-benar menuntunku untuk kembali padaMu.

Memberiku seorang Mama yang terhebat. Dan, sahabat yang terbaik yang pernah ada. Terima kasih Rara.

Percayalah, melepas sesuatu hal yang dilarang  karena Allah semata. InsyaAllah akan mendapat ganti yang luar biasa.

Dan kini, aku kembali melangkah. Melupakan hal yang terjadi kemarin sebagai pelajaran. Kemudian, melangkah menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Aamiin.

END

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Mengenai Saya

Foto saya
Berasal dari keluarga yang biasa saja, pun bukan mahasiswa. Semua itu tak dapat menghentikan langkah saya untuk terus berbagi ilmu. Karena, sebaik-baik manusia adalah yang dapat bermanfaat bagi sesama. Dan saya, memulainya dari sini; menulis.

Pengikut