Cerpen Rinai Rindu


Jakarta, 2018 

 Ialah hujan, yang mampu membuatmu merasakan sebuah kerinduan.

Aku mengamati rinai hujan yang turun sore ini dengan saksama. Di setiap tetes rinainya mampu membuat hatiku bergetar. Terdapat sebuah rindu yang menusuk dalam sukmaku. Yang semakin kupandangi rinainya. Semakin hebat pula rinduku padanya. Ada sebuah kenangan tersendiri antara diriku dengannya yang tak bisa diungkapkan oleh kata. Bahkan, setiap tetes air hujan yang turun hari ini tak dapat menandingi rasa rinduku padanya.

Jakarta, 2016

Hujan sepertinya tidak akan pergi hari ini. Kulihat, jam di pergelangan tanganku berkali-kali. Terlihat sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku menggerutu kesal. Seandainya tadi pagi aku tak lupa membawa jas hujan atau payung, aku pasti tak akan menunggu hujan yang sepertinya tak akan reda ini.

“Hai. Kenapa belum pulang?” Tanya seseorang yang ternyata ia adalah Reno.

Oh.. jantungku terasa berdetak begitu kencang saat melihat wajahnya. Terdapat sengatan tersendiri saat kutatap matanya.

“Kau lihat, langit masih saja menangis. Dan aku tak tega jika harus mengganggunya,” jawabku yang sepertinya berlebihan. Aku tak tahu mengapa harus berkata seperti itu. Mungkin karena terlalu gugup bertemu dengannya

“Ah, kau ada-ada saja Rina,” balasnya. Aku hanya diam terpaku saat dia menyebut namaku. Entahlah, mungkin aku terlalu kaget saat ia mengetahui namaku.

Ia adalah Reno. Anak kelas XII seangkatanku namun beda jurusan. Aku sudah lama mengaguminya. Ia pintar, dan pernah menjadi Ketua OSIS. Sedangkan, aku hanya seorang gadis remaja biasa yang menghabiskan setiap waktu istirahatku di perpustakaan.

“Mau pakai jas hujanku dulu?” tawarnya kepadaku.

“Ah, tidak. Terima kasih Reno. Bila jas hujanmu kupakai, lantas kau nanti pulang pakai apa?” elakku padanya.

Kudekati bangku di ujung lorong karena sedari tadi aku berdiri memandang hujan. Kulihat, ia pun mengikutiku dari belakang. Mendekati bangku.

“Aku kan lelaki. Daya tahan tubuhku lebih kuat daripada seorang peremuan,” jelasnya yang memang tak dapat kuelak lagi jawabannya.

Aku hanya diam. Mataku lebih terpaku akan indahnya rinai hujan saat ini. Apalagi suaranya yang mampu menggetarkan hati dan pikiran.

“Kamu suka hujan ya?” tanyanya tepat pada sasaran.

“Iya. Aku suka hujan. Lebih tepatnya suara hujan. Yang kusuka hanya suara dan indahnya rinai yang turun. Itu membuat suasana hatiku lebih tenang,” jelasku menerangkan.

Pluviophile,” ucapnya

Aku hanya mengerutkan kening; apa?

Pluviophie. Iya, Pluviophie sebutan bagi seseorang yang mengagumi hujan. Seperti kamu ini,” jawabnya.

“Kalau kamu? Apa yang kamu suka dari hujan?” Tanyaku dengan ragu padanya.

“Yang kusuka dari hujan ialah baunya. Petrichor, aroma yang khas saat rintik-rintik hujaan itu membasahi tanah yang kering,” jelasnya.

Kita sama-sama terdiam, menikmati alunan suara nyanyian hujan. Yang kurasakan saat ini adalah aku sangat senang. Bisa berbincang bersama dengan Reno yang diam-diam kukagumi itu. Hingga satu  di antara kami memecah keheningan.

“Jadi, ngga jadi pulang nih?” Tanyanya padaku yang masih asyik memandang hujan memecah lamunanku.

Aku tersenyum, “oh iya, lupa aku. Lantas, kamu gimana?” Tanyaku padanya.

“Aku ngga apa-apa. I’m fine, ok?” Jawabnya dengan nada sok kerennya.

“Oke. Aku duluan ya kalau gitu,” ucapku padanya kemudian menembus guyuran hujan sore ini.

Hujan, sepertinya menjadi memori tersendiri antara aku dan dirinya. Entah sekarang, lusa atau sampai saat dimana kenangan itu muncul dengan sendirinya. Aku lebih suka memandang hujan, mendengar ribuan rintik air yang mampu membuat alunan harmoni secara alami itu. Aku lebih suka hujan, karena di setiap tetesnya terdapat  rangkaian doa yang merindu.

Namun, dititik berikutnya aku tidak menyukai suara maupun rinainya. Semua itu hanya mampu membuatku untuk membongkar semua kenangan yang berputar acak diotakku menjadi satu. Seperti sebuah film.

Jakarta, 2017

“Bukankah kau tidak menyukai kopi?” Ucap seseorang dengan nada tak sukanya. Aku pun beranjak meninggalkan perhatianku pada hujan. Penasaran dengan sosok tersebut.

Aku terdiam. Jantungku terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Iris matanya mengunci penglihatanku. Memahami ada yang terasa janggal dalam detik  ini. Di detik berikutnya, ia pun melangkah duduk di depanku.

“Are you ok?” Tanyanya memecah keterkejutanku.

“Yes i’m ok, Reno,” ucapku. “Oh, maaf. Maksudku, Arka. Aku baik-baik saja, ok?” lanjutku. Aku sekarang merasa bersalah padanya.

“Aku tahu. Kau masih mengingatnya. Dan kau pula masih menyimpan rindu untuknya. Terlebih, ia adalah sosok yang spesial untukmu. Kau bisa memanggilku Reno bila itu mampu membuat rindumu terobati, Rina,” jelas Arka-saudara kembar Reno- memang, selama ini aku masih merindukannya. Sejak kejadian itu, aku tak mampu melupakannya. Aku membenci diriku sendiri. Dan, hujan. Karena hujan yang membuat keadaan semula baik-baik saja menjadi keadaan terburuk yang pernah ada.

Tatapanku pun berubah pada hujan. Setiap kali kutatap hujan dengan senyum dan mata yang berbinar. Kini, berubah menjadi sendu tanpa guratan senyuman.


Jakarta, 2016

“Hei! Melamun saja. Ngelamunin  siapa sih?” Tanya Reno yang membuyarkan pikiranku.

Kuserahkan nilai ulangan matematikaku yang kian hari kian menurun.

“Tenang saja, semua bisa kuatasi,” ujarnya meyakinkan.

Namun, aku tak seyakin itu, “jangan bercanda deh Ren, aku sudah susah payah belajar semalaman cuma dapat 6. Bagaimana kamu bisa?” Jawabku yang agak kesal.

Dia mulai melihat hasil ulanganku. Tatapan matanya serius melihat soal-soal yang menurutku rumit itu.

“Lihat. Yang nomor 7 caranya begini,” jelasnya sambil menuliskan jejeran rumus yang tepat untuk materi logaritma itu.

“Selesai. Mudah bukan?” Ucapnya.

“Kalau yang ini?” Tanyaku menunjukkan soal nomor 16.

Kulihat Reno dengan seriusnya membaca soal itu dan dengan waktu beberapa menit ia mampu menjabarkan setiap kerumitan soal itu. Sungguh, anak yang genius.

“Kau tahu? Dalam belajar matematika kau harus menguasai semua rumus yang telah Bu Nisa ajarkan padamu. Tak hanya matematika, pelajaran yang lain pun begitu,” jelas Reno yang sepertinya tahu akan arti dari pikiranku. Perkataannya tadi terlihat lebih dewasa. Sisi lain dari Reno.

“Gimana? Paham nggak, malah melamun saja,” ucap Reno yang kembali kesisi semulanya.

“Iya, paham kok. Pulang yuk Ren, sudah sore nih,” ajakku pada Reno.

“Tapi kan masih hujan Rina, apa sebaiknya tunggu reda saja?” usul Reno padaku.

“Tak apa. Hari ini aku bawa jas hujan. Jadi, kau tidak usah repot-repot meminjamkan jas hujanmu itu,” elakku padanya.

“Baiklah. Ayo pulang.”

Dan, akhirnya ia pun mengalah. Aku berdecak ria kemudian berlari menembus hujan setelah memakai jas hujan.

“Rina! Tunggu!” Teriak Reno yang sedari tadi kutinggalkan.

“Ayo Reno cepat!” Teriakku memecah suara hujan pada Reno. Dia mulai berlari mengejarku. Namun, didetik berikutnya terjadi hal yang sangat membuatku terluka.

“Reno!!!” teriakku sambil berlari menghaampiri Reno yang telah tergeletak di aspal. Tangisku pecah, tak dapat lagi kubendung. Aliran darah di kepalanya semakin bercucuran, dan kemudian hujan bersatu dengan darah Reno. Dan sejak saat itu aku benci hujan.


Surat Terakhir dari Bapak (cerpen)










Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Mengenai Saya

Foto saya
Berasal dari keluarga yang biasa saja, pun bukan mahasiswa. Semua itu tak dapat menghentikan langkah saya untuk terus berbagi ilmu. Karena, sebaik-baik manusia adalah yang dapat bermanfaat bagi sesama. Dan saya, memulainya dari sini; menulis.

Pengikut